September 18, 2013

Dead Vonis

Share it Please





Sebagai seorang paramedis kesehatan yang belajar banyak mengenai sakit, penyakit, dan proses penanggulangan penyakit, tidak heran jika saya familiar mendengar kabar dan kerap kali didongengi hal perihal penyakit kronis, penyakit langka, penyakit yang belum ditemukan obatnya, kanker stadium akhir, final stage, hingga dead vonis.

Jelas berita berita ini tidak enak untuk didengar telinga, juga bukan bahan obrolan tepat kala ngopi ngeteh cantik bersama kawan. Bagaimana tidak, ini membuat kuduk pendengar merinding, menyuguhkan kenyataan pahit, mengingatkan mengenai hal yang paling ingin dihindarkan dari pikiran bahagia kala muda, yaitu kematian.

Tapi bukankah kematian adalah hal yang absolut? Tak perlu dijemput akan jelas datangnya.

Hal yang saya ingat jelas dari kenangan kabur kuliah farmakologi (mengenai penyakit dan mekanisme aksi obat untuk melawan penyakit) adalah setiap penyakit selalu diusahakan agar ada obatnya, entah itu dari alam ataupun dari sintesis kimia hingga memanfaatkan kerja imun dan rekayasa  genetik yang kini gencar dikembangkan. Sayang sungguh sayang, setiap obat yang ditemukan selalu ada efek sampingnya. Yang mana efek samping itu jika tidak ditangani dengan baik akan memicu penyakit lain hingga akhirnya menimbulkan komplikasi. Bingung? Simpelnya saya disini ingin berkata bahwa apapun penyakit inisiatornya, ujung-ujung cerita selalu mengarah pada à kematian.

Mau dikata apa? Kematian itu sepasti munculnya mentari di pagi hari, apa yang diributkan dari itu?

Maka menurut saya, mereka yang terkena dead vonis  dan mendapat perkiraan sisa umur adalah orang-orang pilihan dan sungguh mereka termasuk sedikit dari orang-orang yang beruntung. Hakikatnya setiap orang mutlak akan kembali ke pangkuan Rabbnya, jika tidak saat ini, mungkin esok hari. Kalau bukan esok hari, mungkin saja lusa, kalau lusa masih saja bernafas mungkin ajal menyuruh kita sabar, karena izrail baru akan datang dalam hitungan tahun ke depan.

Perbedaan mereka yang sekarang sehat dengan mereka yang divonis mati adalah dalam hal mempersiapkan diri. Mempersiapkan diri untuk menyambut panggilan dan bertemu dengan Rabbnya.

Mari kita misalkan agenda ‘mempersiapkan diri’ ini dengan kegiatan responsi atau ujian di perkuliahan, andai kita tahu tanggal berapa responsi dan ujian itu akan dilaksanakan, pasti kita akan belajar sungguh-sungguh supaya mendapat nilai tertinggi. Or at least kalau ala orangtua adalah berusaha terbaik untuk hasil yang terbaik. Nah, beda ceritanya dengan kuis dadakan yang kerap di gelar sekali dua dalam satu semester, kuis itu mendadak, membuat kita blank, harus toleh kanan kiri karena tidak tahu apa yang harus ditulis di lembar jawab.

Pun dengan kematian, jika kita tahu tenggat waktu yang tersisa dari hidup ini, pastilah kita akan berusaha sebaik mungkin menjalani hidup, beribadah lebih khusyuk, berbakti pada orang tua dengan sejatinya bakti, mencintai anak-anak dalam gerak dan laku, memanfaatkan waktu dengan amat sangat bijaksana, memperbanyak sedekah, mengumbar senyum lebih sering, memaafkan dengan tulus, ikhlas dalam setiap hal...melakukan segala kebaikan hingga rasanya dipanggil esok hari pun sudah siap.

Beda halnya dengan mereka yang saat ini sehat, mereka tidak tahu kapan jatuh tempo bagi urut gilirnya, dan tidak sedikit dari mereka yang lupa alpa, bahwa mereka sebenarnya juga terincar oleh sakaratul maut.

Bukankah tidak perlu sakit atau tervonis mati oleh dokter jika hanya menjadi calon mayat?
Mati itu sebuah kepastian yang mutlak. Bisa saja dokter yang memberi dead vonis pada pasien kritisnya meninggal lebih dulu dari sang pasien. 

Paradoks bukan? Hanya saja, kuasa Alloh memang lebih dari segalanya.

Kalau lah timeline garis takdir Alloh untuk hidup kita bisa diakses, maka sejatinya *dari sudut pandang muda saya* tidak akan ada pemuda shalih yang memakmurkan masjid, serentak mereka memilih untuk hura-hura dan tenggelam dalam gejolak gila masa muda. Karena toh mereka tahu kapan ajal menjemput, dikalkulasi dari usia mereka yang sekarang dan ternyata masih lama, maka kesimpulannya: baguslah, taubatku nanti saja, lima tahun sebelum ajal menjemput, sekarang mari menjadi muda, beda dan berbahaya.

Benar-benar kacau dan berbahaya. Tak heran masa depan akan selalu menjadi rahasia. 
Begitupun dengan mati, bagi tiap jiwa.

Sekali lagi, ditulis karena mati itu pasti
Mengetahui kapan kita akan mati, tidak akan seburuk yang kita kira



No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar =D

Find Me !

Facebook  Twitter  Instagram

Blogroll

About

a complete pack of girl-turn-to-woman in her 20's something