Cahya terperangah di sela tidurnya yang lelap.
Igauan bukan lagi sekedar kebetulan.
Matanya nyalang menyala, tak ditemui sejentik pun pelita dalam gelapnya yang nyata.
Dalam rabanya tak dirasa ada sesuatu yang membuat lega
“Di mana aku?” tanyanya retoris. Senyap.
Keretorisan itu terjadi bukan karena pertanyaannya tak butuh dijawab,
lebih karena tak ada yang menjawab.
Dalam bulatan matanya, hanya hitam saja yang berkenan menyapa, bahkan derik nyanyian jangkrik tak ada meski sekedar mengusik.
Kepanikan melanda.
Kegelapan? Sesaat otaknya berputar menandakan dia berfikir.
Kenapa bisa? Kenapa harus gelap? Bukankah dia ada? Eh, sebentar…memangnya dia ada? Sebagai apa?
Benda real-kah?
“Heii…Aku cahya! Aku Cahya. Cahya tak pernah berkenalan dengan gelap. Karena selalu ada cahaya untuk gelap! Lagipula aku tak pernah kalah dengan Tuan Gelap…”
Malang sekali nasib Cahya dalam pikiran kalutnya saat itu.
Dia bingung. Kalau memang secara real dia ada, lantas kenapa gelap masih mengelilinginya jua? Apa salah sistem yang merupakan sunatullahMu itu Rabbi? Cahaya kan ada untuk mengusir gelap, tuntutnya tidak terima.
Halooo…Tuan Gelap?? Cahya mulai berdiri. Tangannya membentuk gerakan menyentuh di depan. Dia mulai menggapai arena disekelilingnya. Ah, celaka! Cahya lupa, ada satu hakikat cahaya yang terkadang dilupakan banyak orang. Gelap bisa tersinari dan hilang karenanya, tapi sekedar dalam lingkupnya saja. Cahaya tak pernah bisa bertahan dalam satu titik yang kecil jika mau melawan pekat gelapnya keadaan. Gelap tak tertembus dengan itu. Ia butuh ribuan cahaya menemaninya.
Oh God, what should I do then??? Cahya mulai berkeringat dingin. Khawatir. Khawatir akan amanahnya, khawatir akan tugas pentingnya sebagai pelita untuk menerangi. Tapi lihat, melihat bagian dirinya saja serasa mustahil saat ini. Haruskah Rabb? Haruskah aku mengalah pada gelap? Gelap muncul karena ketiadaan cahaya, pada hakikatnya tak pernah ada gelap, sebab itu hanya sekedar penggambaran keadaan di mana tak ada cahaya.
Pendar mulai meredup. Bias warna melemah, lelah sekali sepertinya Cahya mempertahankan eksistensi keberadaan dirinya. Ya Rahiim …rindunya membuncah. Ia rindu akan jutaan cahaya yang biasa ada menemani. Sebal akan gelap yang tak berujung pelita. Risih dengan cercaan bahwa Cahya tak bisa melakukan tugasnya.
Ia bungkam dalam desau rasa tercekam. Sudahlah tak perlu dibawa pusing, menyerah dalam keadaan. Bukan, bukan menyerah dalam arti yang sebenarnya. Biarkan saja seperti ini. Gelap, gelap yang menggantungkan harap. Toh, masih menggantung, tidak memenggal. Dan cahya pun menunggu, di penantian kerlip lemahnya, bertahan karena hanya ada sesuatu yang bercokol kuat. Apa itu? Keyakinannya bahwa tak pernah ada gelap, gelap hanya karena ketiadaan cahaya, dan faktanya ia masih ada, lemah memang, tapi akan diatahan sampai datang rahmatNya.
Milyaran cahaya, dari galaksi, bintang, planet dan mentari akan menyambutnya dalam fajar di ufuk jagat. Kali ini biarkan dia yang berkorban,
Cahya.
Dalam rindu akan terang di ufuk fajar yang melibas semua gelap tak berharap.
Igauan bukan lagi sekedar kebetulan.
Matanya nyalang menyala, tak ditemui sejentik pun pelita dalam gelapnya yang nyata.
Dalam rabanya tak dirasa ada sesuatu yang membuat lega
“Di mana aku?” tanyanya retoris. Senyap.
Keretorisan itu terjadi bukan karena pertanyaannya tak butuh dijawab,
lebih karena tak ada yang menjawab.
Dalam bulatan matanya, hanya hitam saja yang berkenan menyapa, bahkan derik nyanyian jangkrik tak ada meski sekedar mengusik.
Kepanikan melanda.
Kegelapan? Sesaat otaknya berputar menandakan dia berfikir.
Kenapa bisa? Kenapa harus gelap? Bukankah dia ada? Eh, sebentar…memangnya dia ada? Sebagai apa?
Benda real-kah?
“Heii…Aku cahya! Aku Cahya. Cahya tak pernah berkenalan dengan gelap. Karena selalu ada cahaya untuk gelap! Lagipula aku tak pernah kalah dengan Tuan Gelap…”
Malang sekali nasib Cahya dalam pikiran kalutnya saat itu.
Dia bingung. Kalau memang secara real dia ada, lantas kenapa gelap masih mengelilinginya jua? Apa salah sistem yang merupakan sunatullahMu itu Rabbi? Cahaya kan ada untuk mengusir gelap, tuntutnya tidak terima.
Halooo…Tuan Gelap?? Cahya mulai berdiri. Tangannya membentuk gerakan menyentuh di depan. Dia mulai menggapai arena disekelilingnya. Ah, celaka! Cahya lupa, ada satu hakikat cahaya yang terkadang dilupakan banyak orang. Gelap bisa tersinari dan hilang karenanya, tapi sekedar dalam lingkupnya saja. Cahaya tak pernah bisa bertahan dalam satu titik yang kecil jika mau melawan pekat gelapnya keadaan. Gelap tak tertembus dengan itu. Ia butuh ribuan cahaya menemaninya.
Oh God, what should I do then??? Cahya mulai berkeringat dingin. Khawatir. Khawatir akan amanahnya, khawatir akan tugas pentingnya sebagai pelita untuk menerangi. Tapi lihat, melihat bagian dirinya saja serasa mustahil saat ini. Haruskah Rabb? Haruskah aku mengalah pada gelap? Gelap muncul karena ketiadaan cahaya, pada hakikatnya tak pernah ada gelap, sebab itu hanya sekedar penggambaran keadaan di mana tak ada cahaya.
Pendar mulai meredup. Bias warna melemah, lelah sekali sepertinya Cahya mempertahankan eksistensi keberadaan dirinya. Ya Rahiim …rindunya membuncah. Ia rindu akan jutaan cahaya yang biasa ada menemani. Sebal akan gelap yang tak berujung pelita. Risih dengan cercaan bahwa Cahya tak bisa melakukan tugasnya.
Ia bungkam dalam desau rasa tercekam. Sudahlah tak perlu dibawa pusing, menyerah dalam keadaan. Bukan, bukan menyerah dalam arti yang sebenarnya. Biarkan saja seperti ini. Gelap, gelap yang menggantungkan harap. Toh, masih menggantung, tidak memenggal. Dan cahya pun menunggu, di penantian kerlip lemahnya, bertahan karena hanya ada sesuatu yang bercokol kuat. Apa itu? Keyakinannya bahwa tak pernah ada gelap, gelap hanya karena ketiadaan cahaya, dan faktanya ia masih ada, lemah memang, tapi akan diatahan sampai datang rahmatNya.
Milyaran cahaya, dari galaksi, bintang, planet dan mentari akan menyambutnya dalam fajar di ufuk jagat. Kali ini biarkan dia yang berkorban,
Cahya.
Dalam rindu akan terang di ufuk fajar yang melibas semua gelap tak berharap.
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar =D